Minggu, 14 Januari 2018

Memahami Substansi Khilafah Wacana Teologis

Memahami Substansi Khilafah Wacana Teologis
Oleh Ariny Sa’adah

Foto aksi bela palestina

 “Alloh akan menegakkan negara yang adil meskipun kafir, dan menghancurkan negara yang zhalim meskipun muslim,” begitulah kiranya pepatah Ibnu Taimiyah dalam menggambarkan sebuah negara. Negara digambarkan sebagai sistem yang memberikan kesejahteraan bagi warganya. Tidak ada penindasan yang memunculkan perlawanan-perlawanan, maka negara dikatakan adil dan berhasil. Namun beberapa dekade terakhir Indonesia dibombardir dengan spirit pendirian kembali sistem kh}ilafah oleh saudara-saudara H}izbut Tahrir. Lantas, bagaimanakah sejatinya makna kh}ilafah islamiyah yang didengung-dengungkan?
Impian menegakkan kh}ilafah islamiyah (negara dengan sistem islam) di Indonesia menemukan momentumnya lagi seiring dengan gerakan reformasi 1998 yang membuka kran kembali kebebasan berpendapat dan berekspresi. Reformasi telah memulangkan kembali demokrasi Indonesia ke rumah kebebasannya bagaikan siraman hujan pada bibit khilafah. Sehingga ia bertunas dengan cukup suburnya di negara Indonesia. Beragam kajian secara tersembunyi hingga postingan yang masih beredar berupa tulisan dan gambar-gambar seputar idealisme kh}ilafah merebak dimana-mana, merasuki alam pikiran generasi muda muslim yang sedang mencari jati diri keislamannya. Ternyata dakwah ini semakin lama mendapat pengikut yang semakin membesar.[1]
Menelisik paham dan geliat kh}ilafah ini, secara teologis dan historis, sejatinya tidaklah rumit. Sebagai wacana teologis di era kontemporer, aslinya ia tidaklah mendapatkan porsi yang besar di antara wacana-wacana keislaman lainnya, seperti isu pluralisme yang kebetulan sedang saya kerjakan, modernisasi, HAM, dll. Wacana khilafah sudah sangat basi dibahas, sebab diskursusnya di Indonesia telah tuntas dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2 Tahun 2017 oleh presiden.
Namun demikian, kampanye khilafah ini masih menunjukkan gerak-geriknya. “Aktivitasnya memang tidak show up, akan tetapi mereka berusaha menusuk jantung pluralisme Indonesia, dengan karakter dan ideologi yang militan, bahkan tak segan melakukan propaganda. Sehingga pertumbuhannya memang tidak layak untuk diabaikan”.[2]
Wajar saja banyak dari kalangan intelektual muslim menyediakan waktunya untuk mendiskusikan dan menuliskan tema khilafah. Dengan berbagai cara dan konsep para ulama, pemimpin-pemimpin besar islam, bahkan budayawan, dipertemukan bersama dalam sebuah forum seperti contoh diskusi bersama yang diadakan oleh salah satu stasiun televisi. Hal ini dilakukan supaya masyarakat mampu mengambil kesimpulan tersendiri yang dipandu melalui pembahasan panjang mengenai khilafah. Wacana dan informasi yang dihasilkan akan menjadi pengimbang gerakan-gerakan khilafah di Indonesia.
Dalam wacana teologisnya, Edi mengutip dari Ahmad Sahal dalam buku Kontroversi Kh}ilafah: Islam, Negara, dan Pancasila, genealogi khilafah bisa dilacak mulai terbitnya kitab klasik al-Ah}ka>m al-S}ultha}>niyyah karangan Abu Hasan Ali al-Mawardi, yang hidup di era Abbasiyah. Al-Mawardi menyatakan bahwa khilafah adalah kepemimpinan politik yang berperan menggantikan Nabi dalam memelihara agama dan mengatur dunia. Khilafah merupakan sistem politik yang dirancang oleh Tuhan demi tegaknya pondasi agama dan kemaslahatan umat (mash}a>lih al-ummah).[3]
Seperti ditulis oleh Edi, perlu dicatat bahwa Al-Mawardi menulis kitab tersebut berdasarkan kondisi ketika itu. Bahwasannya kelompok Buwayhid kian menguat dengan kesuksesannya merebut posisi-posisi strategis yakni gubernur di sejumlah wilayah Abbasiyah. Edi pun juga menuliskan bahwa Al-Mawardi merupakan penasehat istana di masa khalifah Al-Qadir Bilah, yang diminta oleh sang khalifah untuk merumuskan konsep khilafah dalam hukum islam. Maka wajar saja apabila kitab tersebut dihadirkan dengan legitimasi dogmatis kepada dinasti Abbasiyah untuk menegakkan kekuasaan politiknya melalui wacana khilafah Islamiyah.
Dogma yang dikonsep dalam wacana khilafah tersebut dikritik oleh Al-Juwayni, guru besar Imam Ghazali. Al-Juwayni menolak konsep yang ditawarkan oleh Al-Mawardi tentang pemimpin yang harus berasal dari bangsa Arab dan keturunan Quraisy. Akan tetapi guru Al-Ghaza>li> yang bergelar Imam H}aramain tersebut menekankan pada prinsip kapasitas bagi seorang pemimpin, sehingga siapa pun pemimpinnya asalkan memiliki kemampuan memelihara dan mengatur dunia, maka ia sudah islami dan pantas didukung. Pendapat Al-Juwayni tersebut saya kira sesuai dengan firman Alloh yang tertuang dalam Al-Quran surat Al-Baq}arah ayat 251 sebagai berikut:

NèdqãBtygsù ÂcøŒÎ*Î/ «!$# Ÿ@tFs%ur ߊ¼ãr#yŠ šVqä9%y` çm9s?#uäur ª!$# šù=ßJø9$# spyJò6Ïtø:$#ur ¼çmyJ¯=tãur $£JÏB âä!$t±o 3 Ÿwöqs9ur ßìøùyŠ «!$# }¨$¨Y9$# OßgŸÒ÷èt/ <Ù÷èt7Î/ ÏNy|¡xÿ©9 ÙßöF{$# £`Å6»s9ur ©!$# rèŒ @@ôÒsù n?tã šúüÏJn=»yèø9$# [4]ÇËÎÊÈ  

Artinya :  Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.


Demikian pula dengan pendapat Ibnu Taimiyah yang dikutip oleh Edi Iyubenu bahwa “ia sama sekali tidak menekankan kewajiban menegakkan khilafah dalam bentuk legal formal. Akan tetapi lebih menekankan pada bentuk khilafah yang substantif”.[5] Menurutnya tujuan utama mendirikan negara ialah penegakan amar makruf nahi munkar, yang secara simbolik mengacu pada prinsip keadilan. Ibnu Taimiyah pun menegaskan dalam pepatahnya yang berbunyi; Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun kafir, dan menghancurkan negara yang zalim meskipun muslim.
Imam Ghazali pun menyetujui pendapat Ibnu Taimiyah. Mengutip dari bukunya Edi Iyubenu, dalam kitab al-Iqtish}a>d fi al-I’tiqad, Al-Ghazali menyatakan bahwa dalam situasi yang tidak memungkinkan diwujudkan pemimpin yang memenuhi syarat syariah, maka penguasa yang tak memenuhi kriteria syariah bisa dianggap absah selama mampu menegakkan tatanan sosial yang adil.
Maka, khilafah islamiyah yang diidamkan lahir kembali oleh H}izbut Tahrir merupakan obsesi romantik yang didasarkan pada sejarah masa lalu. Mereka ingin menjadikan langgam lama ke dunia yang sudah jauh berbeda. Karena konteksnya, Indonesia itu dihuni oleh beragam umat beragama yang dilindungi dalam satu bingkai pancasila. Jika ingin mewujudkan kh}ilafah islamiyah, maka perjuangkan nila-nilainya secara substantif. Sehingga negara dalam bentuk apapun, selama masyarakatnya damai dan tentram serta pemimpinnya adil dan bijaksana, maka itulah wujud nyata dari substansi khilafah islamiyah.




DAFTAR PUSTAKA


Iyubenu, Edi AH. Berhala-berhala Wacana; Gagasan Kontekstualisasi Sakralitas Agama secara Produktif-Kreatif. Yogyakarta: IRCiSoD, 2015.





[1] Edi AH Iyubenu, Berhala-berhala Wacana, Gagasan Kontekstualisasi Sakralitas Agama secara Produktif-Kreatif, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), 76.

[2] Edi AH Iyubenu, Berhala-berhala Wacana, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), 77.
[3] Ibid. 78.
[4] al-Qur’an, 1: 251.
[5] Edi, Berhala-berhala Wacana, 79.

Simbol Barang Konsumsi Bagi Masyarakat Konsumtif Perspektif ‘Jean Baudrillard’

Simbol Barang Konsumsi Bagi Masyarakat Konsumtif
Perspektif ‘Jean Baudrillard’
ilustrasi: clipartof.com

Artikel ini saya tulis untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah ‘Jurnalistik Online’
Oleh Arini Sa’adah


Perilaku konsumsi adalah suatu hal wajar yang dilakukan oleh masyarakat. Tindakan ini dilakukan guna mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Seiring berkembangnya zaman, kebutuhan konsumsi masyarakat juga semakin meningkat. Bahan-bahan primer, sekunder, bahkan tersier menjadi hal yang seringkali menjadi kebutuhan wajib. Namun, benarkah kebutuhan yang menggila ini dipengaruhi oleh modernisasi? Ataukah pola hidup masyarakat dan hasrat memenuhi keinginanlah yang menjadi pemicu konsumsi berlebih?
Budaya konsumtif masyarakat erat hubungannya dengan penggunaan media sosial dan media-media periklanan lainnya (televisi, media cetak, billboard, dll) sebagai sarana pengenalan produk. Media-media tersebut sangat berpengaruh dengan daya beli masyarakat. Bermodal kata-kata dan pesan visual, masyarakat tertarik untuk membeli item yang dipasarkan. Alhasil, barang yang tidak dibutuhkan pun ikut terbeli. Inilah yang menjadi permasalahan dari adanya iklan yang menggiurkan.
Akan tetapi, apabila dahulu barang-barang konsumsi didapatkan berdasarkan kebutuhan, kegunaan atau manfaatnya. Namun sekarang masyarakat membeli barang bukan lagi berdasarkan nilai guna dan nilai tukar, akan tetapi berdasarkan nilai tanda dan nilai simbol seperti yang dikatakan oleh ‘Jean Baudrillard’. Ia adalah seorang sosiolog dan ahli kebudayaan. Beberapa pemikirannya yang populer adalah tentang masyarakat konsumer, hiperealitas, dan simulasi.
Menurutnya fungsi utama objek-objek konsumsi bukanlah pada kegunaan atau manfaatnya, melainkan lebih pada fungsi sebagai nilai tanda atau nilai simbol yang disebarluaskan melalui iklan-iklan gaya hidup berbagai media. Yang dimaksud nilai tanda dan nilai simbol adalah suatu barang telah menjadi sebuah simbol kelas dan prestise. Penggunaan barang A misalnya, dinilai bukan dari manfaatnya, namun dinilai dari kepemilikian barang A oleh orang-orang banyak atau disebut dengan trend.
Makna ataupun tanda telah ditanamkan pada setiap produk yang disampaikan oleh iklan-iklan. Sehingga konsumen membeli barang berdasarkan tanda yang telah ditanam tersebut. Tanda atau simbol yang ditanamkan berkaitan dengan gaya hidup seseorang. Gaya hidup mewah digambarkan dengan barang-barang yang harus dimiliki oleh orang-orang kaya. Gambaran kehidupan ini akan menjadi sebuah ide ataupun sketsa ideal bagi kehidupan masyarakat secara nyata. Sehingga, apa yang disampaikan oleh pesan iklan tersebut menjadi sebuah hal yang semestinya idealnya hidup adalah seperti yang ditampilkan, yaitu dengan barang-barang mewah supaya disegani dan dihormati.
Sebenarnya tema gaya hidup seperti prestise, kelas, dan jabatan adalah sederetan makna yang telah ditanamkan ke dalam barang-barang konsumsi. Artinya, barang konsumsi telah berubah menjadi seperangkat sistem kelas atau status di masyarakat. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa kepemilikan suatu barang konsumsi hanya untuk memenuhi kebutuhan ‘gaya dan gengsi’. Bukan berarti menafikkan adanya kebutuhan sehari-hari, akan tetapi lebih kepada menunjukkan bahwa mekanisme sistem konsumsi pada dasarnya berangkat dari sistem nilai tanda dan simbol, bukan dengan alasan kebutuhan atau hasrat mendapatkan kenikmatan lagi. 
Wacana tersebut dipertegas oleh Jean Baudrillard, bahwa dalam masyarakat konsumer, konsumsi sebagai sistem pemaknaan tidak lagi diatur oleh faktor kebutuhan atau hasrat memenuhi kenikmatan. Namun diatur oleh seperangkat hasrat untuk mendapat kehormatan, prestise, status dan identitas elegan melalui sebuah mekanisme penandaan. Ini jelas sudah melanda masyarakat dan menjadi budaya yang mengalir seakan nampak alamiah.
Baudrillard juga menambahkan, bahwasannya identitas individu di masyarakat bukan lagi dilihat pada siapa dan apa yang dilakukannya, akan tetapi dilihat dari apa yang menjadi konsumsi. Apa yang dimiliki dan yang mereka tampilkan di masyarakat menjadi penanda sosial. Misalnya apabila yang dikonsumsi adalah barang yang dikatakan oleh pesan iklan sebagai ‘mewah’ maka itu akan menggambarkan kehidupan pemakai barang itu. Padahal, seringkali pemakai barang tidak sesuai dengan kehidupan sosial si pemakai itu. Sehingga gaya hidupnya hanya akan berupa ‘simulasi’ belaka.
Contoh lain adalah kepemilikan handphone merk X oleh seseorang. Sekarang alat komunikasi tersebut tidak lagi didasarkan pada nilai guna dan nilai tukar barang itu, melainkan karena ia menjadi simbol gaya hidup, prestise, kemewahan dan status sosial pemiliknya. Misalnya, handphone tersebut dinilai dari segi nilai guna, maka semua handphone fungsinya sama yaitu untuk komunikasi dengan rekan atau saudara. Jika dinilai berdasarkan nilai tukar, maka barang yang nilainya mahal atau ber-merk menjadi milik orang yang mampu membelinya saja. Namun yang terjadi tidaklah demikian, handphone dijadikan hanya sebagai simbol kelas. Sehingga mengakibatkan banyak merk barang yang dikenal dengan istilah ‘KaWe’ laris terjual di pasaran.
Pada akhirnya, masyarakat akan semakin dimasukkan dalam budaya simulasi. Tidak dapat lagi dikenali mana sesuatu yang riil dan mana sesuatu yang semu. Semuanya menjadi bagian realitas yang dijalani masyarakat dewasa ini. Sekat tipis inilah yang disebut oleh Jean Baudrillard sebagai ‘simulakra’. Simulakara yaitu sebuah dunia yang terbangun berdasarkan campuraduk nilai, fakta, fiksi dan citra. Hidup sudah seperti dunia fiksi yang nampak fakta, ataupun sebaliknya.
Dewasa ini, pergulatan tanda dan citra memenuhi permainan modernisasi. Hal demikian telah mendominasi seluruh proses komunikasi. Tidak hanya terjadi pada dunia periklanan, namun menjangkau media-media di seluruh dunia. Sehingga membentuk suatu bola dunia besar yang diakui sebagai kebenaran.
Bagi masyarakat konsumtif, nilai tanda dan simbol sangatlah penting. Sebab hal ini akan berpengaruh pada identitas yang ia bangun di masyarakat. Kesederhanaan sudah semakin tidak mendapat tempat karena tergeser oleh ‘kemewahan’. Masyarakat berlomba-lomba untuk mendapatkan eksistensi di masyarakat yang ia tempati. Bukan berdasarkan kemampuannya dalam memberikan sumbangsih kepada lingkungan, namun berdasarkan barang-barang yang dikonsumsi maupun ‘dikenakan’.











Sabtu, 13 Januari 2018

Teknologi Canggih, Ciptakan Dakwah Media Sosial dalam Bungkus Masa Kini

Teknologi Canggih, Ciptakan Dakwah Media Sosial
dalam Bungkus Masa Kini

Artikel ini ditulis untuk memenuhi Tugas Akhir Semester Mata Kuliah ‘Komunikasi Massa’
Oleh Ariny Sa’adah KPI A Semester 5

Filterisasi terhadap arus media informasi tidak dapat dibendung lagi. Kita tidak bisa memungkiri bahwa kita sedang berada di era perkembangan teknologi, khususnya teknologi komunikasi dan informasi.  Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi tidak hanya berwujud pada kecanggihan perangkat keras (hardware)-nya saja, melainkan juga pada perangkat lunak (software) atau aplikasi yang terdapat di dalamnya. Semakin canggih alat komunikasi yang tercipta, maka semakin canggih pula aplikasi-aplikasi yang dipasarkan. Lalu bagaimanakah pemanfaatan item-item canggih tersebut?
Menyoal aplikasi, kurang lengkap apabila kita tidak memahami terlebih dahulu maknanya. Tertulis di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) aplikasi yang dimaksud adalah program komputer atau perangkat lunak yang dirancang untuk mengerjakan tugas tertentu. Sedangkan menurut Hengky W. Pramana, aplikasi merupakan suatu unit perangkat lunak yang dibuat untuk melayani kebutuhan akan beberapa aktivitas seperti sistem perniagaan, game, palayanan masyarakat, advertising, atau semua proses yang hampir dilakukan manusia.
Berdasarkan dua pengertian di atas, bisa kita tarik sebuah pengertian aplikasi secara umum. Aplikasi adalah perangkat lunak pada gadget yang berguna untuk menjalankan aktivitas manusia berdasarkan kebutuhan. Benar adanya bahwa aktivitas atau kegiatan manusia zaman sekarang tidak hanya berjalan di dunia nyata. Dengan memanfaatkan kecanggihan gadget dan sistem jaringan internet, manusia bisa melakukan apapun yang dia inginkan, seperti mencari informasi tentang pendidikan, ekonomi, politik, hiburan, hingga mencari jodoh pun mendapat pelayanan menarik di dunia internet. Istilah yang lazim untuk menyebut dunia komunikasi dan penyebaran informasi secara cepat disebut dengan ‘dunia maya’.
Membincang soal dunia maya, tak lepas dari perbincangan media sosial sebagai alat yang digunakan manusia untuk menjalankan aktivitasnya. Menurut Caleb T. Carr dan Rebecca A. Hayes, Media sosial adalah media berbasis internet yang memungkinkan pengguna berkesempatan untuk berinteraksi dan mempresentasikan diri, baik secara seketika ataupun ‘tertunda’, dengan khalayak luas maupun tidak yang mendorong nilai dari user-generated content dan persepsi interaksi dengan orang lain. Sedangkan menurut B.K. Lewis, Media sosial adalah label bagi teknologi digital yang memungkinkan orang untuk berhubungan, berinteraksi, memproduksi, dan berbagi isi pesan.
Pada intinya, media sosial adalah sarana atau alat komunikasi dua arah berbasis internet yang memungkinkan manusia untuk saling bertukar informasi atau pesan. Indonesia termasuk negara yang penghuninya menjadi pengguna internet terbesar di dunia. Dewasa ini, aplikasi media sosial sangat beragam jenisnya, seperti facebook, twitter, instagram, line dan path.
Salah satu diantaranya yang paling nge-trend di kalangan muda maupun dewasa adalah Instagram. Terbukti di sekitar kita mulai dari lansia, dewasa, remaja, anak-anak, hingga usia balita tak ketinggalan untuk memiliki akun instagram. Keberadaan instagram tidak hanya menyatakan eksistensi individu dalam masyarakat maya, melainkan juga organisasi, instansi atau lembaga, komunitas-komunitas, bahkan partai politik.
Maka, saya melakukan riset kecil-kecilan untuk melihat geliat pergerakan lembaga-lembaga dan organisasi masyarakat termasuk partai politik. Akan tetapi saya akan mengambil contoh kasus pada salah satu organisasi mahasiswa yaitu KMNU yang memiliki jaringan organisasi secara nasional.
KMNU atau kepanjangan dari Keluarga Mahasiswa Nahdlotul Ulama sebagai salah satu organisasi mahasiswa ekstra kampus yang juga turut menggunakan instagram dalam menunjukkan keberadaannya di masyarakat. Selain sebagai penunjang eksistensi, instagram juga dimanfaatkan oleh organisasi tersebut sebagai sarana untuk berdakwah. Tak hanya itu, kepemilikkan akun oleh setiap organisasi senama di berbagai kampus yang tersebar di seluruh Indonesia, juga berguna untuk menyambung silaturrahmi antar sesama organisasi.
Fitur-fitur pada instagram bisa menampilkan foto dan video lengkap dengan caption atau keterangan yang mendeskripsikan foto dan video yang diunggah. Untuk itulah instagram sangat efektif bila digunakan sebagai sarana eksistensinya. Mengapa demikian? Secara umum manusia lebih suka melihat foto atau menonton video daripada membaca tulisan. Begitupun para pengikut (follower) instagram yang merupakan manusia zaman now. Bahkan keaktifan organisasi ini di masing-masing perguruan tinggi bisa dilihat dari akun instagramnya. Oleh karenanya, kegiatan apapun menjadi sunah mu'akad hukumnya diunggah di instagram. Aktivitas mengunggah foto atau video di instagram ini ada beberapa versi penyebutan, yakni bisa dikirim, di-upload dan di-posting.
Instagram juga mampu menyiarkan kegiatan atau aktivitas penggunanya secara langsung. Maka dari itu, KMNU seringkali menggunakan fitur siaran langsung pada instagram sebagai media dakwah. Entah itu berupa rutinitas ngaji kitab, sholawatan, tahlilan, bahkan pengajian. Tidak jarang dakwahnya juga menggunakan posting-an biasa di beranda instagram berupa meme, pamflet, gambar, karikatur, foto dan video disertai caption yang memuat pesan dakwah.
Satu lagi yang menarik dari instagram, pengguna mampu membagikan atau istilah gaulnya me-repost posting-an dari akun instagram lain serta mampu membagikan kirimannya di facebook. Ini memungkinkan organisasi tersebut memperluas jaringan dakwahnya. Tak jarang pula ia me-repost kiriman akun intagram milik perseorangan yang menandainya. Asal itu menarik dan mengandung manfaat bagi orang banyak (follower).
Era kekinian memang sedang menerpa kehidupan kita sebagai generasi millennial. Tanpa kita sadari, banyak sekali nilai positif yang bisa dimaksimalkan pemanfaatannya. Bahwasannya zaman kontemporer tengah mengajari kita untuk bisa “mengerem” diri, supaya tidak terbawa arus yang sedang berjalan, melainkan kita dituntut untuk bergerak dan menciptakan arus sendiri. Kita harus sadar, bakwa kita sedang hidup di tengah-tengah badai modernisasi. Bila kita tidak memiliki pegangan yang kuat, kita bisa tergerus oleh ganasnya badai tersebut. Nampaknya ungkapan Cak Nun sangat cocok untuk dijadikan acuan dalam pembahasan ini, bahwasannya “hidup itu melawan arus, hanya sampah dan ikan mati yang ikut arus”.
Pemaparan di atas adalah satu contoh dari berbagai geliat organisasi dan lembaga yang juga andil dalam penggunaan akun media sosial. Hubungan dengan masyarakat sangat efektif apabila menggunakan media sosial. Seringkali setiap lembaga atau instansi memanfaatkan media sosial untuk membangun dan meningkatkan citra organisasi. Akan tetapi, sudah sepantasnya lembaga-lembaga dan organisasi yang berbasis islam memanfaatkan media sosial untuk menjalankan aktivitas dan memperluas komunikasi dakwahnya juga.
Berbekal ilmu dan keimanan, sudah selayaknya seorang muslim menggunakan akal sehat dengan lebih siap dan sigap dalam menjawab tantangan zaman. Bukan malah terjerumus ke dalam kubangan negatif modernisasi yang besar kemungkinan melunturkan norma agama yang luhur. Sikap intelektual islam berdasarkan kemampuan komunikasi dalam berbagai media, maka generasi muda akan lebih mampu menyebarkan pesan kebaikan. Sehingga masyarakat muslim mampu menerapkan nilai-nilai agama yang rohmatan lil ‘alamin di era modernisasi dalam bungkus masa kini.

Berjalan Kaki, Terik Matahari Jadi Teman Setiap Hari

SOFTNEWS:
Berjalan Kaki, Terik Matahari Jadi Teman Setiap Hari


Feature by Arini & Azza

kpinews.com (13/01/2018)- Usia tua adalah usia dimana orang-orang akan beristirahat dan menikmati sisa umurnya. Menonton televisi di rumah sambil minum secangkir teh menjadi kenikmatan tersendiri bagi orang-orang yang sudah lanjut usia. Kehidupan panjang yang telah dijalani menjadi realitas yang menjadi seperangkat kenangan indah meskipun terkadang getir dirasa. Perjuangan yang dilalui menjadi pengalaman berharga dan kisah manis untuk diceritakan kepada anak cucu mereka. Begitulah orang yang berusia lanjut, generasinya-lah yang semestinya melanjutkan kisah nyata itu.
Namun, berbeda dengan pasangan suami istri yang tinggal di dusun kecil Sembung desa Gandu kecamatan Mlarak kota Ponorogo ini. Suwondo dan Sukijah menjalani kehidupan yang berbeda. Mereka harus berangkat pagi dan pulang menjelang sore untuk sekedar mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Lelaki berumur 60 tahun ini biasa disapa mbah Suwondo, hidup bersama istri, Sukijah namanya (81 tahun), dan satu anak bungsu. Si bungsu biasa disapa Iis yang berumur 21 tahun. Sukijah mengaku lebih tua dari sang suami, namun seberapa jauhnya tidak begitu diketahui. Akan tetapi di kartu tanda penduduk (KTP) tercatat bahwa Sukijah lahir pada tahun 1936, sedangkan Suwondo lahir pada 1957.
Entah seberapa jauhkah selisih umur mereka, namun Suwondo tetap menyayangi istrinya, begitupula sebaliknya. Tinggal dirumah dengan ukuran 2x3 meter ini tidak membuat mbah Wondo dan mbah Sukijah mengeluh. Bahkan mereka bersyukur hingga dikaruniai dua orang anak perempuan. Namun anak sulung mereka telah menikah dan tinggal di kota lain bersama suaminya. Sesekali si anak sulung mengunjungi mereka untuk sekedar melihat kondisinya yang semakin tua.
Kurang lebih 35 tahun mereka menjalani kehidupan bersama. Sang suami yang buta sejak lahir membuat Sukijah harus mengurus dan menuntun suaminya itu setiap kali mencari sesuap nasi di kesehariannya. Menjual tumbu (keranjang sayuran kecil) dan tampah (alat tradisional untuk membersihkan beras dari kotoran) adalah aktivitas yang sering dilakoni pasangan tua ini. Berjalan kaki hingga menempuh perjalanan sekitar 20 hingga 25 kilometer untuk menjual barang dagangannya hingga laku. Sehari biasanya mereka membawa 4-6 tumbu dan tampah. Mereka tawarkan ke setiap warung atau toko yang dilaluinya. Apabila tidak laku terjual selama diperjalanan, mereka akan menjualnya di pasar Songgolangit, Ponorogo.
Pagi-pagi sekali sekitar pukul enam, mereka mengambil barang dagangan dari pengrajin. Lalu membawanya dengan menyusuri jalan raya yang ramai oleh kendaraan bermotor. Asap kendaraan berbahan bakar solar ataupun bensin yang melintas membuat udara semakin kotor dan panas. Polusi udara juga membuat mereka menutup hidung untuk melindungi pernafasannya. Hal ini tidak mengurungkan niat untuk menghentikan langkah gesitnya, demi sebuah kebahagiaan di sisa umurnya.
Tanpa atau dengan alas kaki, mereka melewati panasnya terik matahari yang membuat kulitnya semakin hitam terbakar oleh kerasnya kehidupan. Bahkan, tak jarang pula hujan mengguyur hingga membuat aktivitasnya terbengkalahi. Namun, semua itu tidak pernah menjadi hal yang dipusingkan, bahkan dianggapnya sebagai teman di dalam mengarungi kehidupan.

Usai dagangan laku terjual dengan penghasilan tak seberapa, mereka pun pulang menyusuri jalan panjang lagi. Apabila mendapat uang penghasilan lebih, maka mereka akan pulang dengan naik bus. Namun, hal itu jarang sekali dilakukan mengingat kebutuhan pangan dirumah lebih penting. Penghasilan 25 ribu hingga 30 ribu per hari ini mengharuskan mereka untuk berhemat hingga pulang pun mereka rela tidak berkendaraan.
Terkadang pula, si anak bungsu menjemput orangtuanya. Itu pun dilakukan ketika pekerjaan serabutan dirumah sudah selesai. Karena si bungsu juga membantu mencukupi kehidupan keluarga dengan bekerja apapun, ke sawah, kuli di pasar, bahkan kuli bangunan juga. pekerjaan ini dilakukan semata-mata untuk orang tuanya. Pendidikan SD yang telah ditempuhnya membuatnya sulit mencari pekerjaan yang layak. Namun ia tak pernah mengeluhkan kondisi orang tuanya.
Selain berjualan tumbu dan tampah, mbah Suwondo dan mbah Sukijah juga mencari rumput untuk dijual ke orang-orang yang mau membelinya. Memotong rumput ini dilakukan di pinggir-pinggir sawah atau jalan dimana rumput tumbuh dengan subur. Tidak jarang pula ketika musim panen padi tiba, mereka berangkat pagi-pagi sekali untuk memunguti butiran-butiran padi sisa hasil memanen.
Selain itu pula, ketika tidak ada barang yang dijual, mereka mencari dan mengumpulkan kayu bakar. Ia punguti kayu-kayu yang berserakan dan ia bawa pulang. Kayu-kayu itu akan dijual nantinya jika sudah terkumpul. Terkadang kayu itu digunakannya untuk memasak dirumah. Karena tidak mampu membeli kompor dan tabung gas, maka mereka memasak dengan kayu bakar dang tungku dari tanah liat.
Ketika kami bertanya tentang mengapa mereka masih melakukan pekerjaan di usia senja ini, maka dengan santai semua ini dilakukan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. “Cukup mboten cukup nggeh dicukup-cukupne, mbak,” begitulah suara renta itu berkata. Suara tawa yang terdengar ketika kami berkunjung kerumahnya, membuktikan bahwa mereka benar-benar bersyukur dan bahagia atas kehidupan yang diberikan Tuhan kepadanya.
Ujian hidup tidak berhenti dengan masalah ekonomi. Sang anak bungsu mendapatkan musibah kecelakaan dan kaki kanannya retak. Hingga beberapa minggu lamanya Suwondo dan Sukijah tidak beraktivitas menjual barang dagangan karena harus merawat anak bungsunya dirumah. Menurut penjelasannya, ia sedang naik motor dan dari arah yang sama ia disenggool sebuah truk hingga terperosok ke bawah bak truk. Ketika kami mendatangi rumahnya pun, si bungsu sedang terbaring dan sesekali merasa kesakitan. Si anak mengaku kakinya masih terasa nyeri.
Namun yang menjadi pelajaran berharga adalah ketika seseorang berada dalam ketidak mampuan maka ia seharusnya bergerak dan berusaha. Tidak hanya mengeluh dan meratapi nasih buruknya. Karena kita sebagai manusia harus yakin, bahwa Tuhan pasti membuat skenario dengan ending yang indah. Seberapa pun pahit ujian hidup, manusia semestinya mampu mampu menjalaninya. Seperti yang dialami oleh Suwondo dan Sukijah, bersama-sama, mereka menjalani kerasnya kehidupan di usia yang sudah renta.