Budaya menjadi bagian yang
tak terpisahkan dari gerak-gerik manusia dalam menjalani skenario hidup
di dunia. Budaya lahir dari karya, rasa, dan cipta manusia (menurut Selo
Soemardjan). Sehingga sesuatu yang lahir tersebut memengaruhi tingkat
pengetahuan yang terdapat dalam pikiran manusia. Alhasil, berpengaruh pada
aplikasi dan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat. Budaya sifatnya
abstrak, maka ia dapat hidup secara nyata apabila dipahami sebagai paradigma
pranata sosial dalam konteks masyarakat. Sehingga hasil ciptaan manusia ini
merupakan karya tertinggi dan menghasilkan masyarakat yang berbudaya luhur.
Budaya adalah
seperangkat ide yang merupakan hasil dari intelektual manusia, yang mana ide tersebut
diwujudkan dalam sebuah perilaku. Agama Budaya adalah manusia menggunakan
pemikirannya sebagai respon terhadap alam dan merespon batin. Respon terhadap
keduanya berakhir pada pikiran manusia yang menemukan Zat Supranatural sebagai
akibat dari keyakinan Agung atas hadirnya ‘Sesuatu’ yang tidak kasat mata.
Zat Supranatural
tersebut dipahami sebagai Dewa oleh manusia zaman dahulu. Bencana yang terjadi
didalam ganasnya manusia yang menyebut dirinya Homo Hominilupus (manusia
adalah serigala bagi manusia lainnya), menghasilkan sebuah solusi yaitu
meminta perlindungan kepada Dewa. Sehingga kepercayaan orang zaman dahulu kala
memunculkan banyak dewa untuk mengurus kehidupan manusia di alam sebagai perwujudan
dari dewa yang Satu. Seperti contoh adanya dewa angin, dewa gunung, dewa air,
dsb.
Wujud dari penghormatan
dan permohonan perlindungan adalah dengan dilakukannya Sesaji (sajen). Sesaji
ini merupakan wujud dari ide supranatural yang direpresentasikan oleh manusia. Sedangkan
dilansir dari sabdalangit.com sesaji berasal dari kata saji, sajian, sesajian, maknanya
sama dengan hidangan. Akan tetapi saya menitikberatkan nilai esensial sesaji
lebih kepada penghormatan dan perdamaian secara batin. Penghormatan ini
bertujuan untuk menciptakan keseimbangan hidup antara zat mikrokosmos
(manusia) dengan zat makrokosmos (jagat raya) sebagai ‘ridlo’ dari Zat
yang dianggapnya Supranatural.
Manusia perlu menyadari bahwasannya ia menjalani
kehidupan ini tidaklah sendirian. Akan tetapi ada makhluk-makhluk lain ataupun
kekuatan lain di bumi ini selain manusia. Tujuan lain dari sesaji tersebut adalah supaya alam tetap tentram
dan Tuhan merestui hubungan manusia dengan alam. Ini juga merupakan bentuk
kreativitas manusia akan kesadaran kosmologis bahwa manusia itu tidak hidup sendirian,
akan tetapi ada kekuatan dan mahluk lain di sekitarnya yang wajib diyakini
keberadaannya.
Hal ini bukanlah suatu
hal yang keluar dari koridor kebenaran, akan tetapi bentuk penyampaian doa
untuk alam semesta beserta isinya. Doa merupakan permintaan hamba kepada Tuhan
sebagai zat yang diyakini Supranatural untuk memperoleh keselamatan dan
kebahagiaan bersama dalam menjalani aktivitas menghamba.
Sesaji tersebut pada
akhirnya memunculkan sebuah perilaku baru yang disebut dengan ritual. Ritual
merupakan suatu perilaku yang sifatnya formal dan dilakukan dalam waktu
tertentu dengan cara berbeda. Ritual bukan sekedar rutinitas yang bersifat
teknis saja, melainkan tindakan yang didasarkan pada keyakinan religius
terhadap suatu kekuasaan atau kekuatan mistis (Victor Turner).
Pada perjalanan
selanjutnya dari ritual ialah lahir sebuah keyakinan dalam menjalankan ritual
formal yaitu agama. Agama pun terpecah menjadi banyak aliran. Bahkan
aliran-aliran tersebut terpecah-pecah lagi menjadi bermacam-macam mazhab, begitupun
seterusnya hingga taraf tak terhingga. Hal ini dikarenakan ide manusia yang
terus berkembang dan kreativitas yang dinamis dalam menafsiri berbagai
persoalan zaman.
Mengapa terdapat ragam
ritual dan etika yang bermacam-macam dalam kultur masyarakat? Hal ini
disebabkan oleh respon terhadap ritual di setiap daerah berbeda-beda sesuai
dengan budaya yang telah dipegang suatu kelompok. Selain itu juga respon
terhadap kalam Zat Supranatural yang dipahami dan diaplikasikan sesuai
kapasitas daya tangkap masing-masing. Ini juga yang menyebabkan mengapa para wali
(dalam agama islam) menyebarkan paham islam dengan prosedur akulturasi. Hal
ini pun sesuai dengan teori sintesis Plato yang dapat digambarkan sebagai
Kultur-> Akultur = Akulturasi.
Maka, sebagai manusia
yang berbudaya, hendaknya segala macam fanatisme dan rasialisme ditekan
sedemikian rupa. Sehingga tercipta keindahan bersosial dalam damai dan kasih
sayang sesama. Karena fanatik hanyalah akan membodohkan dan mencemari jalan
pikiran manusia yang luhur. Sedangkan mengagungkan kelompok sendiri secara
berlebihan hanya akan mengakibatkan perseteruan yang tiada habisnya. Alangkah
indahnya hidup ini apabila saling mengerti dan menerima.
Essay Writer : Ariny S.
0 komentar:
Posting Komentar