Selasa, 03 Oktober 2017

IDE SPIRITUAL MANUSIA MELAHIRKAN AGAMA ‘BUDAYA’

Budaya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gerak-gerik manusia dalam menjalani skenario hidup di dunia. Budaya lahir dari karya, rasa, dan cipta manusia (menurut Selo Soemardjan). Sehingga sesuatu yang lahir tersebut memengaruhi tingkat pengetahuan yang terdapat dalam pikiran manusia. Alhasil, berpengaruh pada aplikasi dan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat. Budaya sifatnya abstrak, maka ia dapat hidup secara nyata apabila dipahami sebagai paradigma pranata sosial dalam konteks masyarakat. Sehingga hasil ciptaan manusia ini merupakan karya tertinggi dan menghasilkan masyarakat yang berbudaya luhur.
Budaya adalah seperangkat ide yang merupakan hasil dari intelektual manusia, yang mana ide tersebut diwujudkan dalam sebuah perilaku. Agama Budaya adalah manusia menggunakan pemikirannya sebagai respon terhadap alam dan merespon batin. Respon terhadap keduanya berakhir pada pikiran manusia yang menemukan Zat Supranatural sebagai akibat dari keyakinan Agung atas hadirnya ‘Sesuatu’ yang tidak kasat mata.
Zat Supranatural tersebut dipahami sebagai Dewa oleh manusia zaman dahulu. Bencana yang terjadi didalam ganasnya manusia yang menyebut dirinya Homo Hominilupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya), menghasilkan sebuah solusi yaitu meminta perlindungan kepada Dewa. Sehingga kepercayaan orang zaman dahulu kala memunculkan banyak dewa untuk mengurus kehidupan manusia di alam sebagai perwujudan dari dewa yang Satu. Seperti contoh adanya dewa angin, dewa gunung, dewa air, dsb.
Wujud dari penghormatan dan permohonan perlindungan adalah dengan dilakukannya Sesaji (sajen). Sesaji ini merupakan wujud dari ide supranatural yang direpresentasikan oleh manusia. Sedangkan dilansir dari sabdalangit.com sesaji berasal dari kata saji, sajian, sesajian, maknanya sama dengan hidangan. Akan tetapi saya menitikberatkan nilai esensial sesaji lebih kepada penghormatan dan perdamaian secara batin. Penghormatan ini bertujuan untuk menciptakan keseimbangan hidup antara zat mikrokosmos (manusia) dengan zat makrokosmos (jagat raya) sebagai ‘ridlo’ dari Zat yang dianggapnya Supranatural.
Manusia perlu menyadari bahwasannya ia menjalani kehidupan ini tidaklah sendirian. Akan tetapi ada makhluk-makhluk lain ataupun kekuatan lain di bumi ini selain manusia. Tujuan lain dari sesaji tersebut adalah supaya alam tetap tentram dan Tuhan merestui hubungan manusia dengan alam. Ini juga merupakan bentuk kreativitas manusia akan kesadaran kosmologis bahwa manusia itu tidak hidup sendirian, akan tetapi ada kekuatan dan mahluk lain di sekitarnya yang wajib diyakini keberadaannya.
Hal ini bukanlah suatu hal yang keluar dari koridor kebenaran, akan tetapi bentuk penyampaian doa untuk alam semesta beserta isinya. Doa merupakan permintaan hamba kepada Tuhan sebagai zat yang diyakini Supranatural untuk memperoleh keselamatan dan kebahagiaan bersama dalam menjalani aktivitas menghamba.
Sesaji tersebut pada akhirnya memunculkan sebuah perilaku baru yang disebut dengan ritual. Ritual merupakan suatu perilaku yang sifatnya formal dan dilakukan dalam waktu tertentu dengan cara berbeda. Ritual bukan sekedar rutinitas yang bersifat teknis saja, melainkan tindakan yang didasarkan pada keyakinan religius terhadap suatu kekuasaan atau kekuatan mistis (Victor Turner).
Pada perjalanan selanjutnya dari ritual ialah lahir sebuah keyakinan dalam menjalankan ritual formal yaitu agama. Agama pun terpecah menjadi banyak aliran. Bahkan aliran-aliran tersebut terpecah-pecah lagi menjadi bermacam-macam mazhab, begitupun seterusnya hingga taraf tak terhingga. Hal ini dikarenakan ide manusia yang terus berkembang dan kreativitas yang dinamis dalam menafsiri berbagai persoalan zaman.
Mengapa terdapat ragam ritual dan etika yang bermacam-macam dalam kultur masyarakat? Hal ini disebabkan oleh respon terhadap ritual di setiap daerah berbeda-beda sesuai dengan budaya yang telah dipegang suatu kelompok. Selain itu juga respon terhadap kalam Zat Supranatural yang dipahami dan diaplikasikan sesuai kapasitas daya tangkap masing-masing. Ini juga yang menyebabkan mengapa para wali (dalam agama islam) menyebarkan paham islam dengan prosedur akulturasi. Hal ini pun sesuai dengan teori sintesis Plato yang dapat digambarkan sebagai Kultur-> Akultur = Akulturasi.
Maka, sebagai manusia yang berbudaya, hendaknya segala macam fanatisme dan rasialisme ditekan sedemikian rupa. Sehingga tercipta keindahan bersosial dalam damai dan kasih sayang sesama. Karena fanatik hanyalah akan membodohkan dan mencemari jalan pikiran manusia yang luhur. Sedangkan mengagungkan kelompok sendiri secara berlebihan hanya akan mengakibatkan perseteruan yang tiada habisnya. Alangkah indahnya hidup ini apabila saling mengerti dan menerima.


Essay Writer : Ariny S.

0 komentar:

Posting Komentar