Sabtu, 13 Januari 2018

Berjalan Kaki, Terik Matahari Jadi Teman Setiap Hari

SOFTNEWS:

Berjalan Kaki, Terik Matahari Jadi Teman Setiap Hari


Feature by Arini & Azza

kpinews.com (13/01/2018)- Usia tua adalah usia dimana orang-orang akan beristirahat dan menikmati sisa umurnya. Menonton televisi di rumah sambil minum secangkir teh menjadi kenikmatan tersendiri bagi orang-orang yang sudah lanjut usia. Kehidupan panjang yang telah dijalani menjadi realitas yang menjadi seperangkat kenangan indah meskipun terkadang getir dirasa. Perjuangan yang dilalui menjadi pengalaman berharga dan kisah manis untuk diceritakan kepada anak cucu mereka. Begitulah orang yang berusia lanjut, generasinya-lah yang semestinya melanjutkan kisah nyata itu.
Namun, berbeda dengan pasangan suami istri yang tinggal di dusun kecil Sembung desa Gandu kecamatan Mlarak kota Ponorogo ini. Suwondo dan Sukijah menjalani kehidupan yang berbeda. Mereka harus berangkat pagi dan pulang menjelang sore untuk sekedar mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Lelaki berumur 60 tahun ini biasa disapa mbah Suwondo, hidup bersama istri, Sukijah namanya (81 tahun), dan satu anak bungsu. Si bungsu biasa disapa Iis yang berumur 21 tahun. Sukijah mengaku lebih tua dari sang suami, namun seberapa jauhnya tidak begitu diketahui. Akan tetapi di kartu tanda penduduk (KTP) tercatat bahwa Sukijah lahir pada tahun 1936, sedangkan Suwondo lahir pada 1957.
Entah seberapa jauhkah selisih umur mereka, namun Suwondo tetap menyayangi istrinya, begitupula sebaliknya. Tinggal dirumah dengan ukuran 2x3 meter ini tidak membuat mbah Wondo dan mbah Sukijah mengeluh. Bahkan mereka bersyukur hingga dikaruniai dua orang anak perempuan. Namun anak sulung mereka telah menikah dan tinggal di kota lain bersama suaminya. Sesekali si anak sulung mengunjungi mereka untuk sekedar melihat kondisinya yang semakin tua.
Kurang lebih 35 tahun mereka menjalani kehidupan bersama. Sang suami yang buta sejak lahir membuat Sukijah harus mengurus dan menuntun suaminya itu setiap kali mencari sesuap nasi di kesehariannya. Menjual tumbu (keranjang sayuran kecil) dan tampah (alat tradisional untuk membersihkan beras dari kotoran) adalah aktivitas yang sering dilakoni pasangan tua ini. Berjalan kaki hingga menempuh perjalanan sekitar 20 hingga 25 kilometer untuk menjual barang dagangannya hingga laku. Sehari biasanya mereka membawa 4-6 tumbu dan tampah. Mereka tawarkan ke setiap warung atau toko yang dilaluinya. Apabila tidak laku terjual selama diperjalanan, mereka akan menjualnya di pasar Songgolangit, Ponorogo.
Pagi-pagi sekali sekitar pukul enam, mereka mengambil barang dagangan dari pengrajin. Lalu membawanya dengan menyusuri jalan raya yang ramai oleh kendaraan bermotor. Asap kendaraan berbahan bakar solar ataupun bensin yang melintas membuat udara semakin kotor dan panas. Polusi udara juga membuat mereka menutup hidung untuk melindungi pernafasannya. Hal ini tidak mengurungkan niat untuk menghentikan langkah gesitnya, demi sebuah kebahagiaan di sisa umurnya.
Tanpa atau dengan alas kaki, mereka melewati panasnya terik matahari yang membuat kulitnya semakin hitam terbakar oleh kerasnya kehidupan. Bahkan, tak jarang pula hujan mengguyur hingga membuat aktivitasnya terbengkalahi. Namun, semua itu tidak pernah menjadi hal yang dipusingkan, bahkan dianggapnya sebagai teman di dalam mengarungi kehidupan.

Usai dagangan laku terjual dengan penghasilan tak seberapa, mereka pun pulang menyusuri jalan panjang lagi. Apabila mendapat uang penghasilan lebih, maka mereka akan pulang dengan naik bus. Namun, hal itu jarang sekali dilakukan mengingat kebutuhan pangan dirumah lebih penting. Penghasilan 25 ribu hingga 30 ribu per hari ini mengharuskan mereka untuk berhemat hingga pulang pun mereka rela tidak berkendaraan.
Terkadang pula, si anak bungsu menjemput orangtuanya. Itu pun dilakukan ketika pekerjaan serabutan dirumah sudah selesai. Karena si bungsu juga membantu mencukupi kehidupan keluarga dengan bekerja apapun, ke sawah, kuli di pasar, bahkan kuli bangunan juga. pekerjaan ini dilakukan semata-mata untuk orang tuanya. Pendidikan SD yang telah ditempuhnya membuatnya sulit mencari pekerjaan yang layak. Namun ia tak pernah mengeluhkan kondisi orang tuanya.
Selain berjualan tumbu dan tampah, mbah Suwondo dan mbah Sukijah juga mencari rumput untuk dijual ke orang-orang yang mau membelinya. Memotong rumput ini dilakukan di pinggir-pinggir sawah atau jalan dimana rumput tumbuh dengan subur. Tidak jarang pula ketika musim panen padi tiba, mereka berangkat pagi-pagi sekali untuk memunguti butiran-butiran padi sisa hasil memanen.
Selain itu pula, ketika tidak ada barang yang dijual, mereka mencari dan mengumpulkan kayu bakar. Ia punguti kayu-kayu yang berserakan dan ia bawa pulang. Kayu-kayu itu akan dijual nantinya jika sudah terkumpul. Terkadang kayu itu digunakannya untuk memasak dirumah. Karena tidak mampu membeli kompor dan tabung gas, maka mereka memasak dengan kayu bakar dang tungku dari tanah liat.
Ketika kami bertanya tentang mengapa mereka masih melakukan pekerjaan di usia senja ini, maka dengan santai semua ini dilakukan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. “Cukup mboten cukup nggeh dicukup-cukupne, mbak,” begitulah suara renta itu berkata. Suara tawa yang terdengar ketika kami berkunjung kerumahnya, membuktikan bahwa mereka benar-benar bersyukur dan bahagia atas kehidupan yang diberikan Tuhan kepadanya.
Ujian hidup tidak berhenti dengan masalah ekonomi. Sang anak bungsu mendapatkan musibah kecelakaan dan kaki kanannya retak. Hingga beberapa minggu lamanya Suwondo dan Sukijah tidak beraktivitas menjual barang dagangan karena harus merawat anak bungsunya dirumah. Menurut penjelasannya, ia sedang naik motor dan dari arah yang sama ia disenggool sebuah truk hingga terperosok ke bawah bak truk. Ketika kami mendatangi rumahnya pun, si bungsu sedang terbaring dan sesekali merasa kesakitan. Si anak mengaku kakinya masih terasa nyeri.
Namun yang menjadi pelajaran berharga adalah ketika seseorang berada dalam ketidak mampuan maka ia seharusnya bergerak dan berusaha. Tidak hanya mengeluh dan meratapi nasih buruknya. Karena kita sebagai manusia harus yakin, bahwa Tuhan pasti membuat skenario dengan ending yang indah. Seberapa pun pahit ujian hidup, manusia semestinya mampu mampu menjalaninya. Seperti yang dialami oleh Suwondo dan Sukijah, bersama-sama, mereka menjalani kerasnya kehidupan di usia yang sudah renta.














0 komentar:

Posting Komentar