Minggu, 14 Januari 2018

Memahami Substansi Khilafah Wacana Teologis

Memahami Substansi Khilafah Wacana Teologis
Oleh Ariny Sa’adah

Foto aksi bela palestina

 “Alloh akan menegakkan negara yang adil meskipun kafir, dan menghancurkan negara yang zhalim meskipun muslim,” begitulah kiranya pepatah Ibnu Taimiyah dalam menggambarkan sebuah negara. Negara digambarkan sebagai sistem yang memberikan kesejahteraan bagi warganya. Tidak ada penindasan yang memunculkan perlawanan-perlawanan, maka negara dikatakan adil dan berhasil. Namun beberapa dekade terakhir Indonesia dibombardir dengan spirit pendirian kembali sistem kh}ilafah oleh saudara-saudara H}izbut Tahrir. Lantas, bagaimanakah sejatinya makna kh}ilafah islamiyah yang didengung-dengungkan?
Impian menegakkan kh}ilafah islamiyah (negara dengan sistem islam) di Indonesia menemukan momentumnya lagi seiring dengan gerakan reformasi 1998 yang membuka kran kembali kebebasan berpendapat dan berekspresi. Reformasi telah memulangkan kembali demokrasi Indonesia ke rumah kebebasannya bagaikan siraman hujan pada bibit khilafah. Sehingga ia bertunas dengan cukup suburnya di negara Indonesia. Beragam kajian secara tersembunyi hingga postingan yang masih beredar berupa tulisan dan gambar-gambar seputar idealisme kh}ilafah merebak dimana-mana, merasuki alam pikiran generasi muda muslim yang sedang mencari jati diri keislamannya. Ternyata dakwah ini semakin lama mendapat pengikut yang semakin membesar.[1]
Menelisik paham dan geliat kh}ilafah ini, secara teologis dan historis, sejatinya tidaklah rumit. Sebagai wacana teologis di era kontemporer, aslinya ia tidaklah mendapatkan porsi yang besar di antara wacana-wacana keislaman lainnya, seperti isu pluralisme yang kebetulan sedang saya kerjakan, modernisasi, HAM, dll. Wacana khilafah sudah sangat basi dibahas, sebab diskursusnya di Indonesia telah tuntas dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2 Tahun 2017 oleh presiden.
Namun demikian, kampanye khilafah ini masih menunjukkan gerak-geriknya. “Aktivitasnya memang tidak show up, akan tetapi mereka berusaha menusuk jantung pluralisme Indonesia, dengan karakter dan ideologi yang militan, bahkan tak segan melakukan propaganda. Sehingga pertumbuhannya memang tidak layak untuk diabaikan”.[2]
Wajar saja banyak dari kalangan intelektual muslim menyediakan waktunya untuk mendiskusikan dan menuliskan tema khilafah. Dengan berbagai cara dan konsep para ulama, pemimpin-pemimpin besar islam, bahkan budayawan, dipertemukan bersama dalam sebuah forum seperti contoh diskusi bersama yang diadakan oleh salah satu stasiun televisi. Hal ini dilakukan supaya masyarakat mampu mengambil kesimpulan tersendiri yang dipandu melalui pembahasan panjang mengenai khilafah. Wacana dan informasi yang dihasilkan akan menjadi pengimbang gerakan-gerakan khilafah di Indonesia.
Dalam wacana teologisnya, Edi mengutip dari Ahmad Sahal dalam buku Kontroversi Kh}ilafah: Islam, Negara, dan Pancasila, genealogi khilafah bisa dilacak mulai terbitnya kitab klasik al-Ah}ka>m al-S}ultha}>niyyah karangan Abu Hasan Ali al-Mawardi, yang hidup di era Abbasiyah. Al-Mawardi menyatakan bahwa khilafah adalah kepemimpinan politik yang berperan menggantikan Nabi dalam memelihara agama dan mengatur dunia. Khilafah merupakan sistem politik yang dirancang oleh Tuhan demi tegaknya pondasi agama dan kemaslahatan umat (mash}a>lih al-ummah).[3]
Seperti ditulis oleh Edi, perlu dicatat bahwa Al-Mawardi menulis kitab tersebut berdasarkan kondisi ketika itu. Bahwasannya kelompok Buwayhid kian menguat dengan kesuksesannya merebut posisi-posisi strategis yakni gubernur di sejumlah wilayah Abbasiyah. Edi pun juga menuliskan bahwa Al-Mawardi merupakan penasehat istana di masa khalifah Al-Qadir Bilah, yang diminta oleh sang khalifah untuk merumuskan konsep khilafah dalam hukum islam. Maka wajar saja apabila kitab tersebut dihadirkan dengan legitimasi dogmatis kepada dinasti Abbasiyah untuk menegakkan kekuasaan politiknya melalui wacana khilafah Islamiyah.
Dogma yang dikonsep dalam wacana khilafah tersebut dikritik oleh Al-Juwayni, guru besar Imam Ghazali. Al-Juwayni menolak konsep yang ditawarkan oleh Al-Mawardi tentang pemimpin yang harus berasal dari bangsa Arab dan keturunan Quraisy. Akan tetapi guru Al-Ghaza>li> yang bergelar Imam H}aramain tersebut menekankan pada prinsip kapasitas bagi seorang pemimpin, sehingga siapa pun pemimpinnya asalkan memiliki kemampuan memelihara dan mengatur dunia, maka ia sudah islami dan pantas didukung. Pendapat Al-Juwayni tersebut saya kira sesuai dengan firman Alloh yang tertuang dalam Al-Quran surat Al-Baq}arah ayat 251 sebagai berikut:

NèdqãBtygsù ÂcøŒÎ*Î/ «!$# Ÿ@tFs%ur ߊ¼ãr#yŠ šVqä9%y` çm9s?#uäur ª!$# šù=ßJø9$# spyJò6Ïtø:$#ur ¼çmyJ¯=tãur $£JÏB âä!$t±o 3 Ÿwöqs9ur ßìøùyŠ «!$# }¨$¨Y9$# OßgŸÒ÷èt/ <Ù÷èt7Î/ ÏNy|¡xÿ©9 ÙßöF{$# £`Å6»s9ur ©!$# rèŒ @@ôÒsù n?tã šúüÏJn=»yèø9$# [4]ÇËÎÊÈ  

Artinya :  Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.


Demikian pula dengan pendapat Ibnu Taimiyah yang dikutip oleh Edi Iyubenu bahwa “ia sama sekali tidak menekankan kewajiban menegakkan khilafah dalam bentuk legal formal. Akan tetapi lebih menekankan pada bentuk khilafah yang substantif”.[5] Menurutnya tujuan utama mendirikan negara ialah penegakan amar makruf nahi munkar, yang secara simbolik mengacu pada prinsip keadilan. Ibnu Taimiyah pun menegaskan dalam pepatahnya yang berbunyi; Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun kafir, dan menghancurkan negara yang zalim meskipun muslim.
Imam Ghazali pun menyetujui pendapat Ibnu Taimiyah. Mengutip dari bukunya Edi Iyubenu, dalam kitab al-Iqtish}a>d fi al-I’tiqad, Al-Ghazali menyatakan bahwa dalam situasi yang tidak memungkinkan diwujudkan pemimpin yang memenuhi syarat syariah, maka penguasa yang tak memenuhi kriteria syariah bisa dianggap absah selama mampu menegakkan tatanan sosial yang adil.
Maka, khilafah islamiyah yang diidamkan lahir kembali oleh H}izbut Tahrir merupakan obsesi romantik yang didasarkan pada sejarah masa lalu. Mereka ingin menjadikan langgam lama ke dunia yang sudah jauh berbeda. Karena konteksnya, Indonesia itu dihuni oleh beragam umat beragama yang dilindungi dalam satu bingkai pancasila. Jika ingin mewujudkan kh}ilafah islamiyah, maka perjuangkan nila-nilainya secara substantif. Sehingga negara dalam bentuk apapun, selama masyarakatnya damai dan tentram serta pemimpinnya adil dan bijaksana, maka itulah wujud nyata dari substansi khilafah islamiyah.




DAFTAR PUSTAKA


Iyubenu, Edi AH. Berhala-berhala Wacana; Gagasan Kontekstualisasi Sakralitas Agama secara Produktif-Kreatif. Yogyakarta: IRCiSoD, 2015.





[1] Edi AH Iyubenu, Berhala-berhala Wacana, Gagasan Kontekstualisasi Sakralitas Agama secara Produktif-Kreatif, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), 76.

[2] Edi AH Iyubenu, Berhala-berhala Wacana, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), 77.
[3] Ibid. 78.
[4] al-Qur’an, 1: 251.
[5] Edi, Berhala-berhala Wacana, 79.

0 komentar:

Posting Komentar