Memahami Substansi Khilafah Wacana Teologis
Oleh Ariny Sa’adah
Foto aksi bela palestina
“Alloh
akan menegakkan negara yang adil meskipun kafir, dan menghancurkan negara yang
zhalim meskipun muslim,” begitulah kiranya pepatah Ibnu Taimiyah dalam
menggambarkan sebuah negara. Negara digambarkan sebagai sistem yang memberikan
kesejahteraan bagi warganya. Tidak ada penindasan yang memunculkan
perlawanan-perlawanan, maka negara dikatakan adil dan berhasil. Namun beberapa
dekade terakhir Indonesia dibombardir dengan spirit pendirian kembali
sistem kh}ilafah
oleh saudara-saudara H}izbut
Tahrir. Lantas, bagaimanakah sejatinya
makna kh}ilafah
islamiyah yang didengung-dengungkan?
Impian
menegakkan kh}ilafah islamiyah (negara dengan
sistem islam) di Indonesia menemukan momentumnya lagi seiring dengan gerakan
reformasi 1998 yang membuka kran kembali kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Reformasi telah memulangkan kembali demokrasi Indonesia ke rumah kebebasannya
bagaikan siraman hujan pada bibit khilafah. Sehingga ia bertunas dengan
cukup suburnya di negara Indonesia. Beragam kajian secara tersembunyi hingga
postingan yang masih beredar berupa tulisan dan gambar-gambar seputar idealisme
kh}ilafah merebak
dimana-mana, merasuki alam pikiran generasi muda muslim yang sedang mencari
jati diri keislamannya. Ternyata dakwah ini semakin lama mendapat pengikut yang
semakin membesar.[1]
Menelisik paham dan geliat kh}ilafah
ini, secara teologis dan historis, sejatinya tidaklah rumit. Sebagai wacana
teologis di era kontemporer, aslinya ia tidaklah mendapatkan porsi yang besar
di antara wacana-wacana keislaman lainnya, seperti isu pluralisme yang
kebetulan sedang saya kerjakan, modernisasi, HAM, dll. Wacana khilafah
sudah sangat basi dibahas, sebab diskursusnya di Indonesia telah tuntas dengan dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2 Tahun 2017 oleh presiden.
Namun demikian, kampanye khilafah ini masih
menunjukkan gerak-geriknya. “Aktivitasnya memang tidak show up, akan
tetapi mereka berusaha menusuk jantung pluralisme Indonesia, dengan karakter
dan ideologi yang militan, bahkan tak segan melakukan propaganda. Sehingga
pertumbuhannya memang tidak layak untuk diabaikan”.[2]
Wajar saja banyak dari kalangan intelektual muslim
menyediakan waktunya untuk mendiskusikan dan menuliskan tema khilafah.
Dengan berbagai cara dan konsep para ulama, pemimpin-pemimpin besar islam,
bahkan budayawan, dipertemukan bersama dalam sebuah forum seperti contoh
diskusi bersama yang diadakan oleh salah satu stasiun televisi. Hal ini
dilakukan supaya masyarakat mampu mengambil kesimpulan tersendiri yang dipandu
melalui pembahasan panjang mengenai khilafah. Wacana dan informasi yang
dihasilkan akan menjadi pengimbang gerakan-gerakan khilafah di
Indonesia.
Dalam
wacana teologisnya, Edi mengutip dari Ahmad Sahal dalam buku Kontroversi Kh}ilafah: Islam, Negara, dan Pancasila, genealogi khilafah
bisa dilacak mulai terbitnya kitab klasik al-Ah}ka>m al-S}ultha}>niyyah karangan Abu
Hasan Ali al-Mawardi, yang hidup di era Abbasiyah. Al-Mawardi menyatakan bahwa khilafah
adalah kepemimpinan politik yang berperan menggantikan Nabi dalam
memelihara agama dan mengatur dunia. Khilafah merupakan sistem politik
yang dirancang oleh Tuhan demi tegaknya pondasi agama dan kemaslahatan umat (mash}a>lih al-ummah).[3]
Seperti ditulis oleh Edi, perlu dicatat bahwa
Al-Mawardi menulis kitab tersebut berdasarkan kondisi ketika itu. Bahwasannya
kelompok Buwayhid kian menguat dengan kesuksesannya merebut posisi-posisi
strategis yakni gubernur di sejumlah wilayah Abbasiyah. Edi pun juga menuliskan
bahwa Al-Mawardi merupakan penasehat istana di masa khalifah Al-Qadir Bilah,
yang diminta oleh sang khalifah untuk merumuskan konsep khilafah dalam
hukum islam. Maka wajar saja apabila kitab tersebut dihadirkan dengan
legitimasi dogmatis kepada dinasti Abbasiyah untuk menegakkan kekuasaan
politiknya melalui wacana khilafah Islamiyah.
Dogma yang dikonsep dalam wacana khilafah tersebut
dikritik oleh Al-Juwayni, guru besar Imam Ghazali. Al-Juwayni menolak konsep
yang ditawarkan oleh Al-Mawardi tentang pemimpin yang harus berasal dari bangsa
Arab dan keturunan Quraisy. Akan tetapi guru Al-Ghaza>li> yang bergelar Imam H}aramain
tersebut menekankan pada prinsip kapasitas bagi seorang pemimpin, sehingga
siapa pun pemimpinnya asalkan memiliki kemampuan memelihara dan mengatur dunia,
maka ia sudah islami dan pantas didukung. Pendapat Al-Juwayni tersebut saya
kira sesuai dengan firman Alloh yang tertuang dalam Al-Quran surat Al-Baq}arah
ayat 251 sebagai berikut:
NèdqãBtygsù ÂcøÎ*Î/ «!$# @tFs%ur ß¼ãr#y Vqä9%y` çm9s?#uäur ª!$# ù=ßJø9$# spyJò6Ïtø:$#ur ¼çmyJ¯=tãur $£JÏB âä!$t±o 3 wöqs9ur ßìøùy «!$# }¨$¨Y9$# OßgÒ÷èt/ <Ù÷èt7Î/ ÏNy|¡xÿ©9 ÙßöF{$# £`Å6»s9ur ©!$# rè @@ôÒsù n?tã úüÏJn=»yèø9$# [4]ÇËÎÊÈ
Artinya : Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara
Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut,
kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah
meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. Seandainya
Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang
lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan)
atas semesta alam.
Demikian pula dengan pendapat Ibnu Taimiyah yang
dikutip oleh Edi Iyubenu bahwa “ia sama sekali tidak menekankan kewajiban
menegakkan khilafah dalam bentuk legal formal. Akan tetapi lebih
menekankan pada bentuk khilafah yang substantif”.[5]
Menurutnya tujuan utama mendirikan negara ialah penegakan amar makruf nahi
munkar, yang secara simbolik mengacu pada prinsip keadilan. Ibnu Taimiyah
pun menegaskan dalam pepatahnya yang berbunyi; Allah akan menegakkan negara
yang adil meskipun kafir, dan menghancurkan negara yang zalim meskipun muslim.
Imam Ghazali pun menyetujui pendapat Ibnu Taimiyah.
Mengutip dari bukunya Edi Iyubenu, dalam kitab al-Iqtish}a>d
fi al-I’tiqad, Al-Ghazali menyatakan bahwa dalam
situasi yang tidak memungkinkan diwujudkan pemimpin yang memenuhi syarat
syariah, maka penguasa yang tak memenuhi kriteria syariah bisa dianggap absah
selama mampu menegakkan tatanan sosial yang adil.
Maka, khilafah islamiyah yang diidamkan lahir
kembali oleh H}izbut
Tahrir merupakan obsesi romantik yang didasarkan pada sejarah masa lalu.
Mereka ingin menjadikan langgam lama ke dunia yang sudah jauh berbeda. Karena
konteksnya, Indonesia itu dihuni oleh beragam umat beragama yang dilindungi
dalam satu bingkai pancasila. Jika ingin mewujudkan kh}ilafah islamiyah,
maka perjuangkan nila-nilainya secara substantif. Sehingga negara dalam bentuk
apapun, selama masyarakatnya damai dan tentram serta pemimpinnya adil dan
bijaksana, maka itulah wujud nyata dari substansi khilafah islamiyah.
DAFTAR PUSTAKA
Iyubenu, Edi AH. Berhala-berhala Wacana; Gagasan
Kontekstualisasi Sakralitas Agama secara Produktif-Kreatif. Yogyakarta:
IRCiSoD, 2015.
[1]
Edi AH Iyubenu, Berhala-berhala
Wacana, Gagasan Kontekstualisasi Sakralitas Agama secara Produktif-Kreatif,
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), 76.
[2] Edi AH Iyubenu, Berhala-berhala
Wacana, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), 77.
[3] Ibid. 78.
[5] Edi, Berhala-berhala Wacana, 79.
0 komentar:
Posting Komentar