Minggu, 14 Januari 2018

Simbol Barang Konsumsi Bagi Masyarakat Konsumtif Perspektif ‘Jean Baudrillard’

Simbol Barang Konsumsi Bagi Masyarakat Konsumtif
Perspektif ‘Jean Baudrillard’
ilustrasi: clipartof.com

Artikel ini saya tulis untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah ‘Jurnalistik Online’
Oleh Arini Sa’adah


Perilaku konsumsi adalah suatu hal wajar yang dilakukan oleh masyarakat. Tindakan ini dilakukan guna mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Seiring berkembangnya zaman, kebutuhan konsumsi masyarakat juga semakin meningkat. Bahan-bahan primer, sekunder, bahkan tersier menjadi hal yang seringkali menjadi kebutuhan wajib. Namun, benarkah kebutuhan yang menggila ini dipengaruhi oleh modernisasi? Ataukah pola hidup masyarakat dan hasrat memenuhi keinginanlah yang menjadi pemicu konsumsi berlebih?
Budaya konsumtif masyarakat erat hubungannya dengan penggunaan media sosial dan media-media periklanan lainnya (televisi, media cetak, billboard, dll) sebagai sarana pengenalan produk. Media-media tersebut sangat berpengaruh dengan daya beli masyarakat. Bermodal kata-kata dan pesan visual, masyarakat tertarik untuk membeli item yang dipasarkan. Alhasil, barang yang tidak dibutuhkan pun ikut terbeli. Inilah yang menjadi permasalahan dari adanya iklan yang menggiurkan.
Akan tetapi, apabila dahulu barang-barang konsumsi didapatkan berdasarkan kebutuhan, kegunaan atau manfaatnya. Namun sekarang masyarakat membeli barang bukan lagi berdasarkan nilai guna dan nilai tukar, akan tetapi berdasarkan nilai tanda dan nilai simbol seperti yang dikatakan oleh ‘Jean Baudrillard’. Ia adalah seorang sosiolog dan ahli kebudayaan. Beberapa pemikirannya yang populer adalah tentang masyarakat konsumer, hiperealitas, dan simulasi.
Menurutnya fungsi utama objek-objek konsumsi bukanlah pada kegunaan atau manfaatnya, melainkan lebih pada fungsi sebagai nilai tanda atau nilai simbol yang disebarluaskan melalui iklan-iklan gaya hidup berbagai media. Yang dimaksud nilai tanda dan nilai simbol adalah suatu barang telah menjadi sebuah simbol kelas dan prestise. Penggunaan barang A misalnya, dinilai bukan dari manfaatnya, namun dinilai dari kepemilikian barang A oleh orang-orang banyak atau disebut dengan trend.
Makna ataupun tanda telah ditanamkan pada setiap produk yang disampaikan oleh iklan-iklan. Sehingga konsumen membeli barang berdasarkan tanda yang telah ditanam tersebut. Tanda atau simbol yang ditanamkan berkaitan dengan gaya hidup seseorang. Gaya hidup mewah digambarkan dengan barang-barang yang harus dimiliki oleh orang-orang kaya. Gambaran kehidupan ini akan menjadi sebuah ide ataupun sketsa ideal bagi kehidupan masyarakat secara nyata. Sehingga, apa yang disampaikan oleh pesan iklan tersebut menjadi sebuah hal yang semestinya idealnya hidup adalah seperti yang ditampilkan, yaitu dengan barang-barang mewah supaya disegani dan dihormati.
Sebenarnya tema gaya hidup seperti prestise, kelas, dan jabatan adalah sederetan makna yang telah ditanamkan ke dalam barang-barang konsumsi. Artinya, barang konsumsi telah berubah menjadi seperangkat sistem kelas atau status di masyarakat. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa kepemilikan suatu barang konsumsi hanya untuk memenuhi kebutuhan ‘gaya dan gengsi’. Bukan berarti menafikkan adanya kebutuhan sehari-hari, akan tetapi lebih kepada menunjukkan bahwa mekanisme sistem konsumsi pada dasarnya berangkat dari sistem nilai tanda dan simbol, bukan dengan alasan kebutuhan atau hasrat mendapatkan kenikmatan lagi. 
Wacana tersebut dipertegas oleh Jean Baudrillard, bahwa dalam masyarakat konsumer, konsumsi sebagai sistem pemaknaan tidak lagi diatur oleh faktor kebutuhan atau hasrat memenuhi kenikmatan. Namun diatur oleh seperangkat hasrat untuk mendapat kehormatan, prestise, status dan identitas elegan melalui sebuah mekanisme penandaan. Ini jelas sudah melanda masyarakat dan menjadi budaya yang mengalir seakan nampak alamiah.
Baudrillard juga menambahkan, bahwasannya identitas individu di masyarakat bukan lagi dilihat pada siapa dan apa yang dilakukannya, akan tetapi dilihat dari apa yang menjadi konsumsi. Apa yang dimiliki dan yang mereka tampilkan di masyarakat menjadi penanda sosial. Misalnya apabila yang dikonsumsi adalah barang yang dikatakan oleh pesan iklan sebagai ‘mewah’ maka itu akan menggambarkan kehidupan pemakai barang itu. Padahal, seringkali pemakai barang tidak sesuai dengan kehidupan sosial si pemakai itu. Sehingga gaya hidupnya hanya akan berupa ‘simulasi’ belaka.
Contoh lain adalah kepemilikan handphone merk X oleh seseorang. Sekarang alat komunikasi tersebut tidak lagi didasarkan pada nilai guna dan nilai tukar barang itu, melainkan karena ia menjadi simbol gaya hidup, prestise, kemewahan dan status sosial pemiliknya. Misalnya, handphone tersebut dinilai dari segi nilai guna, maka semua handphone fungsinya sama yaitu untuk komunikasi dengan rekan atau saudara. Jika dinilai berdasarkan nilai tukar, maka barang yang nilainya mahal atau ber-merk menjadi milik orang yang mampu membelinya saja. Namun yang terjadi tidaklah demikian, handphone dijadikan hanya sebagai simbol kelas. Sehingga mengakibatkan banyak merk barang yang dikenal dengan istilah ‘KaWe’ laris terjual di pasaran.
Pada akhirnya, masyarakat akan semakin dimasukkan dalam budaya simulasi. Tidak dapat lagi dikenali mana sesuatu yang riil dan mana sesuatu yang semu. Semuanya menjadi bagian realitas yang dijalani masyarakat dewasa ini. Sekat tipis inilah yang disebut oleh Jean Baudrillard sebagai ‘simulakra’. Simulakara yaitu sebuah dunia yang terbangun berdasarkan campuraduk nilai, fakta, fiksi dan citra. Hidup sudah seperti dunia fiksi yang nampak fakta, ataupun sebaliknya.
Dewasa ini, pergulatan tanda dan citra memenuhi permainan modernisasi. Hal demikian telah mendominasi seluruh proses komunikasi. Tidak hanya terjadi pada dunia periklanan, namun menjangkau media-media di seluruh dunia. Sehingga membentuk suatu bola dunia besar yang diakui sebagai kebenaran.
Bagi masyarakat konsumtif, nilai tanda dan simbol sangatlah penting. Sebab hal ini akan berpengaruh pada identitas yang ia bangun di masyarakat. Kesederhanaan sudah semakin tidak mendapat tempat karena tergeser oleh ‘kemewahan’. Masyarakat berlomba-lomba untuk mendapatkan eksistensi di masyarakat yang ia tempati. Bukan berdasarkan kemampuannya dalam memberikan sumbangsih kepada lingkungan, namun berdasarkan barang-barang yang dikonsumsi maupun ‘dikenakan’.











0 komentar:

Posting Komentar