Simbol
Barang Konsumsi Bagi Masyarakat Konsumtif
Perspektif ‘Jean Baudrillard’
ilustrasi: clipartof.com
Artikel ini saya tulis untuk
memenuhi tugas akhir mata kuliah ‘Jurnalistik Online’
Oleh Arini Sa’adah
Perilaku konsumsi
adalah suatu hal wajar yang dilakukan oleh masyarakat. Tindakan ini dilakukan
guna mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Seiring berkembangnya zaman,
kebutuhan konsumsi masyarakat juga semakin meningkat. Bahan-bahan primer,
sekunder, bahkan tersier menjadi hal yang seringkali menjadi kebutuhan wajib.
Namun, benarkah kebutuhan yang menggila ini dipengaruhi oleh modernisasi?
Ataukah pola hidup masyarakat dan hasrat memenuhi keinginanlah yang menjadi
pemicu konsumsi berlebih?
Budaya konsumtif
masyarakat erat hubungannya dengan penggunaan media sosial dan media-media periklanan
lainnya (televisi, media cetak, billboard, dll) sebagai sarana
pengenalan produk. Media-media tersebut sangat berpengaruh dengan daya beli
masyarakat. Bermodal kata-kata dan pesan visual, masyarakat tertarik untuk
membeli item yang dipasarkan. Alhasil, barang yang tidak dibutuhkan pun
ikut terbeli. Inilah yang menjadi permasalahan dari adanya iklan yang
menggiurkan.
Akan tetapi, apabila
dahulu barang-barang konsumsi didapatkan berdasarkan kebutuhan, kegunaan atau
manfaatnya. Namun sekarang masyarakat membeli barang bukan lagi berdasarkan
nilai guna dan nilai tukar, akan tetapi berdasarkan nilai tanda dan nilai
simbol seperti yang dikatakan oleh ‘Jean Baudrillard’. Ia adalah seorang
sosiolog dan ahli kebudayaan. Beberapa pemikirannya yang populer adalah tentang
masyarakat konsumer, hiperealitas, dan simulasi.
Menurutnya fungsi utama objek-objek konsumsi bukanlah pada kegunaan
atau manfaatnya, melainkan lebih pada fungsi sebagai nilai tanda atau nilai simbol
yang disebarluaskan melalui iklan-iklan gaya hidup berbagai media. Yang dimaksud nilai tanda dan nilai
simbol adalah suatu barang telah menjadi sebuah simbol kelas dan prestise.
Penggunaan barang A misalnya, dinilai bukan dari manfaatnya, namun dinilai dari
kepemilikian barang A oleh orang-orang banyak atau disebut dengan trend.
Makna ataupun tanda
telah ditanamkan pada setiap produk yang disampaikan oleh iklan-iklan. Sehingga
konsumen membeli barang berdasarkan tanda yang telah ditanam tersebut. Tanda
atau simbol yang ditanamkan berkaitan dengan gaya hidup seseorang. Gaya hidup
mewah digambarkan dengan barang-barang yang harus dimiliki oleh orang-orang
kaya. Gambaran kehidupan ini akan menjadi sebuah ide ataupun sketsa ideal bagi
kehidupan masyarakat secara nyata. Sehingga, apa yang disampaikan oleh pesan
iklan tersebut menjadi sebuah hal yang semestinya idealnya hidup adalah seperti
yang ditampilkan, yaitu dengan barang-barang mewah supaya disegani dan
dihormati.
Sebenarnya tema gaya
hidup seperti prestise, kelas, dan jabatan adalah sederetan makna yang telah
ditanamkan ke dalam barang-barang konsumsi. Artinya, barang konsumsi telah
berubah menjadi seperangkat sistem kelas atau status di masyarakat. Seperti
yang telah dijelaskan di atas, bahwa kepemilikan suatu barang konsumsi hanya
untuk memenuhi kebutuhan ‘gaya dan gengsi’. Bukan berarti menafikkan adanya
kebutuhan sehari-hari, akan tetapi lebih kepada menunjukkan
bahwa mekanisme sistem konsumsi pada dasarnya berangkat dari sistem nilai
tanda dan simbol, bukan dengan alasan kebutuhan atau hasrat mendapatkan
kenikmatan lagi.
Wacana
tersebut dipertegas oleh Jean Baudrillard, bahwa dalam masyarakat konsumer,
konsumsi sebagai sistem pemaknaan tidak lagi diatur oleh faktor kebutuhan atau
hasrat memenuhi kenikmatan. Namun diatur oleh seperangkat hasrat untuk mendapat
kehormatan, prestise, status dan identitas elegan melalui sebuah mekanisme
penandaan. Ini jelas sudah melanda masyarakat dan menjadi budaya yang mengalir
seakan nampak alamiah.
Baudrillard
juga menambahkan, bahwasannya identitas individu di masyarakat bukan lagi
dilihat pada siapa dan apa yang dilakukannya, akan tetapi dilihat dari apa yang
menjadi konsumsi. Apa yang dimiliki dan yang mereka tampilkan di masyarakat
menjadi penanda sosial. Misalnya apabila yang dikonsumsi adalah barang yang
dikatakan oleh pesan iklan sebagai ‘mewah’ maka itu akan menggambarkan
kehidupan pemakai barang itu. Padahal, seringkali pemakai barang tidak sesuai
dengan kehidupan sosial si pemakai itu. Sehingga gaya hidupnya hanya akan
berupa ‘simulasi’ belaka.
Contoh
lain adalah kepemilikan handphone merk X oleh seseorang. Sekarang
alat komunikasi tersebut tidak lagi didasarkan pada nilai guna dan nilai tukar
barang itu, melainkan karena ia menjadi simbol gaya hidup,
prestise, kemewahan dan status sosial pemiliknya. Misalnya, handphone
tersebut dinilai dari segi nilai guna, maka semua handphone fungsinya
sama yaitu untuk komunikasi dengan rekan atau saudara. Jika dinilai berdasarkan
nilai tukar, maka barang yang nilainya mahal atau ber-merk menjadi milik
orang yang mampu membelinya saja. Namun yang terjadi tidaklah demikian,
handphone dijadikan hanya sebagai simbol kelas. Sehingga mengakibatkan banyak merk
barang yang dikenal dengan istilah ‘KaWe’ laris terjual di pasaran.
Pada akhirnya, masyarakat
akan semakin dimasukkan dalam budaya simulasi. Tidak
dapat lagi dikenali mana sesuatu yang riil dan mana sesuatu yang semu. Semuanya
menjadi bagian realitas yang dijalani masyarakat dewasa ini. Sekat tipis inilah
yang disebut oleh Jean Baudrillard sebagai ‘simulakra’. Simulakara yaitu sebuah
dunia yang terbangun berdasarkan campuraduk nilai, fakta, fiksi dan citra. Hidup
sudah seperti dunia fiksi yang nampak fakta, ataupun sebaliknya.
Dewasa ini, pergulatan tanda dan citra memenuhi permainan modernisasi.
Hal demikian telah mendominasi seluruh proses komunikasi. Tidak hanya terjadi
pada dunia periklanan, namun menjangkau media-media di seluruh dunia. Sehingga
membentuk suatu bola dunia besar yang diakui sebagai kebenaran.
Bagi masyarakat konsumtif, nilai tanda dan simbol sangatlah
penting. Sebab hal ini akan berpengaruh pada identitas yang ia bangun di
masyarakat. Kesederhanaan sudah semakin tidak mendapat tempat karena tergeser
oleh ‘kemewahan’. Masyarakat berlomba-lomba untuk mendapatkan eksistensi di
masyarakat yang ia tempati. Bukan berdasarkan kemampuannya dalam memberikan
sumbangsih kepada lingkungan, namun berdasarkan barang-barang yang dikonsumsi
maupun ‘dikenakan’.
0 komentar:
Posting Komentar